Di balik sosoknya yang dikenal sebagai dai kharismatik sekaligus politisi PKB di era Gus Dur, KH. Abdullah Harits Jauhari menyimpan satu komitmen yang tak pernah luntur: mendidik generasi muda dengan nilai-nilai pesantren. Meski kesibukan dakwah dan aktivitas politik kerap menyita waktunya, Abah Haris tetap memegang teguh peran sebagai pendidik sejati. Baginya, mencerdaskan umat melalui ilmu agama adalah amanah yang tak boleh ditinggalkan.
Memasuki era tahun 2000-an, Abah Haris melakukan pendekatan yang tak lazim namun efektif agar anak-anak di Desa Susukan mau mempelajari kitab kuning. Ia menyadari bahwa minat belajar kitab klasik sering kalah oleh aktivitas lain yang lebih menarik bagi remaja. Karena itu, Abah Haris mencetuskan sebuah terobosan: sistem absen berhadiah uang saku.
Metode ini tampak sederhana, namun pada masanya menjadi langkah yang cukup inovatif dan berbeda. Setiap santri yang hadir rutin tanpa bolos diberi upah sebesar Rp30.000, sementara mereka yang kehadirannya kurang konsisten tetap mendapat Rp10.000-Rp.20.000. Nominal ini, pada masa itu, sangat berarti bagi anak-anak kampung—cukup untuk jajan atau membeli kebutuhan sekolah. Bagi Abah Haris, insentif ini bukan sekadar iming-iming, melainkan sarana untuk menumbuhkan kedisiplinan dan memotivasi belajar.
Kitab-kitab yang menjadi bahan kajian pun merupakan karya-karya penting dalam tradisi keilmuan pesantren. Mulai dari Safinatun Najah, Jurumiyyah, Tashrifan, Fathul Qarib, hingga Alfiyah Ibnu Malik, semuanya dikaji dengan sistem pengajaran khas pesantren. Para santri diwajibkan menyalin setiap pelajaran yang ditulis di papan tulis. Cara ini terbukti efektif: santri tidak hanya menghafal, tetapi juga lebih memahami isi kitab karena proses menulis membantu menanamkan ilmu dalam ingatan mereka.
Pendekatan ini rupanya terinspirasi dari gurunya, KH. Ali Maksum, sebagaimana pernah disampaikan oleh cucunya, KH. Hilmy Muhammad Hasbullah, Pengasuh Pondok Pesantren Krapyak Yogyakarta. Dikisahkan, Kiai Ali sering memberikan sejumlah uang kepada para santri agar mereka bersemangat mengaji. Pola ini kemudian diadaptasi oleh Abah Haris dengan menyesuaikan kebutuhan lokal, sehingga anak-anak desa merasa belajar adalah kegiatan yang menyenangkan sekaligus bermanfaat.
Gaya pendidikan Abah Haris membuktikan bahwa nilai-nilai tradisi pesantren tidak harus kaku. Dengan sedikit inovasi, ia berhasil menciptakan suasana belajar yang memikat tanpa mengurangi kedalaman ilmu. Dari ruang-ruang sederhana di Susukan, lahirlah generasi santri yang bukan hanya memahami teks, tetapi juga membawa semangat belajar dalam kehidupan mereka.
Penulis: Tim Riset Pondok Pesantren Nurussa'adah