Biografi Pendiri Pondok Pesantren Nurussa'adah KH. Abdullah Harits Jauhari
Biografi Keluarga
KH. Abdullah Harits Jauhari, atau yang akrab dikenal sebagai Kiai Haris, lahir sebagai putra kedua dari pasangan KH. Jauhari Samin dan Ny. Hj. Marfu’atun. Beliau tumbuh bersama empat saudara kandungnya, yakni Hj. Muslihah, H. Hannan, Hj. I’anah, serta Ny. Hj. Nafsiah yang menikah dengan KH. Maksum, pengasuh Pondok Pesantren Nurul Furqon Cikalahang, Cirebon.
Pada penghujung tahun 1987, Kiai Haris menikah dengan Ny. Hj. Mubiroh, putri dari KH. Bunyamin Mardhi (w. 1988) dan Ny. Hj. Sa’adah ‘Abdus Syukur (w. 2006). Nyai Mubiroh sendiri berasal dari keluarga ulama, dengan enam saudara yang juga banyak berkiprah di dunia pesantren. Di antaranya, KH. Mustafid (w. 1987), pendiri Pondok Pesantren Ulumuddin Susukan; Ny. Hj. Muslihah (w. 2015) yang bersuamikan KH. Khumaidi (w. 2007), pendiri Pesantren Al-Ishlah Kalimojosari, Doro, Pekalongan; KH. Imam Muzani (w. 2009), pendiri Pondok Pesantren Darussa’adah Petanahan, Kebumen; KH. Munawir Yamin, pengasuh Yayasan Nurudholam, Koja, Jakarta Utara; KH. Ali Murtadho, pengasuh Pondok Pesantren Ulumuddin Susukan; serta Ny. Hj. Muhibbah yang menikah dengan KH. Abdul Basith Baidhowi, pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Qurani Susukan.
Dari pernikahan tersebut, Kiai Haris dan Nyai Mubiroh dikaruniai enam orang anak. Anak pertama, Ainul Widad, menikah dengan Ust. Ahmad Rifqi Marully yang kini mengasuh Pondok Pesantren Darul Amal, Jampang, Sukabumi. Anak kedua, Ny. Naelatus Sa’adah, mendampingi suaminya Ust. Yusuf Ridwan dalam mengasuh Pondok Pesantren Nurussa’adah. Anak ketiga, Gus Muhammad Lutfi, melanjutkan perjuangan ayahnya sebagai pengasuh Pondok Pesantren Nurussa’adah sekaligus Ketua Yayasan Haritsiyyah Nurussa’adah. Anak keempat, Gus Khoiruzzad, juga turut menjadi pengasuh pesantren tersebut. Anak kelima, Nauval, wafat saat masih balita. Sedangkan putri bungsu mereka, Ning Syahrozzad, kini ikut serta mengasuh Pondok Pesantren Nurussa’adah bersama saudara-saudaranya.
Kiai Haris wafat pada 5 November 2010 di Susukan, meninggalkan warisan keilmuan, perjuangan dakwah, dan pesantren yang terus berkembang hingga kini. Kepergiannya bukan sekadar meninggalkan duka bagi keluarga dan para santri, tetapi juga meninggalkan warisan yang begitu berharga: ilmu yang beliau sebarkan, perjuangan dakwah yang tak kenal lelah, dan sebuah pesantren yang terus berkembang sebagai wujud nyata dedikasinya untuk umat hingga hari ini.
Biografi Intelektual
Kiai Haris lahir pada 2 Agustus 1955 di Desa Kempek, Ciwaringin, dari pasangan KH. Jauhari Samin (w. 1999) dan Ny. Hj. Marfu’atun (w. 2010). Sejak kecil, beliau tumbuh dalam lingkungan pesantren yang kental dengan tradisi keilmuan. Pendidikan awalnya banyak dibentuk langsung oleh sang ayah, KH. Jauhari, alumnus Pesantren Tebuireng pada masa transisi kepemimpinan dari KH. Hasyim Asy’ari kepada KH. Wahid Hasyim. Dari ayahnya inilah Kiai Haris mendapatkan fondasi kuat dalam ilmu-ilmu keislaman klasik, terutama dalam bidang nahwu, sharaf, dan kajian kitab kuning.
Selain bimbingan dari ayahnya, masa kecil Kiai Haris juga diwarnai pengalaman belajar di Pesantren Kempek, berguru kepada KH. Umar Sholeh (w. 1999), seorang ahli ilmu Al-Qur’an, serta KH. Aqil Siraj (w. 1989) yang mendalami ilmu-ilmu kepesantrenan. Perjalanan intelektualnya berlanjut pada masa remaja, ketika ia menempuh pendidikan formal di SMA Negeri Palimanan, sembari tetap menimba ilmu dari para ulama kharismatik, di antaranya KH. Farikhin Wanagiri di Desa Klangenan, Cirebon, serta sempat nyantri di Pesantren Aljauhariyah Balerante.
Setelah menyelesaikan pendidikan menengah, Kiai Haris sudah memiliki bekal intelektual yang kokoh. Ia kemudian melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Bersamaan dengan itu, beliau juga nyantri di Pondok Pesantren Krapyak di bawah asuhan KH. Ali Maksum (w. 1989), tokoh besar Nahdlatul Ulama yang pernah menjabat Rais ‘Am periode 1981–1984. Di bawah bimbingan KH. Ali Maksum, Kiai Haris semakin matang, bukan hanya dalam khazanah keilmuan Islam tradisional, tetapi juga dalam bidang akademik modern.
Semasa di Krapyak, Kiai Haris aktif dalam organisasi Korps Dakwah Mahasiswa (KODAMA) Yogyakarta. Dari sinilah kiprahnya sebagai seorang da’i mulai dirintis, yang kelak menjadi salah satu ciri khas perjuangan beliau dalam menyebarkan dakwah Islam.
Karir
Setelah menamatkan studi di Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta pada September 1983, beberapa tahun kemudian Kiai Haris sempat meniti karir akademik sebagai dosen di almamaternya. Selama kurang lebih dua tahun beliau mengajar di Fakultas Ekonomi UII, pengalaman yang memperkaya wawasan akademiknya sekaligus melatih kemampuan intelektual dalam ranah pendidikan formal. Namun, pada tahun 1986, Kiai Haris mengambil keputusan penting dalam hidupnya: kembali ke kampung halaman di Kempek, Cirebon. Tak lama setelah itu, pada tahun 1987, beliau menikah dan mulai menapaki fase baru dalam pengabdian.
Setelah menikah dengan Ny. Hj. Mubiroh Bunyamin, Kiai Haris memilih untuk menetap di Susukan. Di tempat inilah beliau mulai berkiprah bersama KH. Bunyamin serta para iparnya dalam mengasuh Pondok Pesantren Ulumuddin. Kiprah Kiai Haris tidak hanya sebatas mendidik para santri dalam tradisi keilmuan pesantren, tetapi juga berkontribusi besar dalam memperkuat pondasi kelembagaan pesantren melalui semangat dakwah yang istiqamah. Dedikasinya semakin tampak ketika pada tahun 1992, bertepatan dengan kelahiran anak ketiganya, Kiai Haris mendirikan sebuah asrama baru yang diberi nama Nurussa’adah. Nama ini dipilih sebagai bentuk tafa’ul (pengharapan baik) sekaligus penghormatan kepada ibunda Ny. Hj. Mubiroh, yakni Ny. Hj. Sa’adah, sehingga asrama tersebut tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga simbol keberkahan keluarga dan perjuangan dakwah beliau.
Di luar aktivitas kepesantrenan, Kiai Haris aktif berdakwah di berbagai daerah, terutama di kawasan Jawa Barat — serta meluaskan jangkauan dakwahnya hingga ke berbagai daerah lain di dalam maupun luar Jawa. Dakwahnya tidak hanya menekankan aspek pengajaran agama, tetapi juga menghidupkan semangat kebersamaan dan memperkuat nilai-nilai keislaman di tengah masyarakat.
Kiprah Kiai Haris juga terlihat dalam organisasi keagamaan dan sosial. Beliau terjun aktif di Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Kabupaten Cirebon, bahkan sempat dipercaya menjabat sebagai Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU) di tingkat kabupaten. Selain itu, keterlibatannya juga merambah ke ranah politik, khususnya melalui Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), sebagai wujud kontribusi nyata dalam memperjuangkan aspirasi umat di ruang publik yang lebih luas.
Penulis: Tim Riset Pondok Pesantren Nurussa'adah
DOKUMENTASI